Indikatorpapua.com|JAKARTA, Kamis 29 April 2021-Pemerintah secara resmi mengumumkan Organisasi Papua Merdeka OPM dengan segala nama Organisasi dan Orang yang berafiliasi didalamnya sebagai Tindakan Teroris.
Hal disampaikan Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan Menkopolhukam saat menggelar Konfrensi Pers Kamis (29/4-2021) di Jakarta. Keputusan Pemerinta melalui Menkopolhukam, Mahfud MD ini mendapat tangapan beragam dari berbagai kalangan, ada pihak yang mendukung namun ada juga pihak yang tidak setuju.
Bahkan Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe melalui Juru Bicara Mohamad Rivai Darus melalui rilis yang dikeluarkan meminta Pemerintah Pusat mengkaji kembali Keputusan yang ditelah keluarkan, Dalam rilis tersebut terdapat 7 Poin, diantaranya.
Pertama, Terorisme adalah tindakan yang selalu diperdebatkan dalam ruang lingkup Hukum dan Politik. Dengan demikian penetapan KKB sebagai kelompok Teroris perlu ditinjau dengan seksama dan memastikan objektivitas Negara dalam pemberian status tersebut.
Kedua, Pemerintah Provinsi Papua sepakat bahwa, segalah tindakan yang telah dilakukan oleh sekelompok Orang yang mengaku sebagai bagian dari KKB adalah kegiatan yang meresahkan, melanggar hukum serta menciderai prinsip-prinsip HAM.
Ketiga, Pemerintah Provinsi Papua meminta kepada Pemerintah Pusat dan DPR RI agar melakukan pengkajian kembali menyoal penyematan lebel KKB sebagai Teroris
“kami berpendapat bahwa pengkajian tersebut harus bersifat komprehensif dengan memperhatikan dampak sosial, dampak ekonomi, dampak hukum terhadap warga Papua secara umum” kata Lukas Enembe.
Keempat, Pemerintah Provinsi Papua mendorong agar TNI dan Polri terlebih dahulu melakukan pemetaan kekuatan KKB yang melingkupi pesebaran wilayahnya, Jumlah orang dan ciri-ciro khusus yang menggambarkan tubuh organisasi tersebut.
“Hal ini sangat dibutuhkan sebab pemerintah Provinsi Papua tidak menginginkan adanya peristiwa salah tembak dan salah tangkap yang menyasar penduduk Papua” jelasnya.
Kelima, Pemerintah Provinsi Papua juga berpendapat bahwa, menyematan lebel teroris kepada KKB akan memiliki dampak psikososial bagi warga Papua yang berada di Perantauan. Hal ini ditakutkan akan memunculkan stigmatisasi negatif yang baru bagi warga Papua di perantauan.
Keenam, Pemerintah Provinsi Papua berpendapat bahwa, sebaiknya Pemerintah Pusat sebaiknya melakukan komunikasi dan konsuktasi bersama Dewan Keamanan PBB terkait pemberian status Teroris terhadap KKB.
Ketujuh, Pemerintah Provinsi Papua menyatakan bahwa, Rakyat Papua akan tetap dan setia NKRI. “Sehingga kami menginginkan pendekatan keamanan (Security Aproach) di Papua dilakukan lebih humanis dan mengedepankan pertukaran kata dan gagasan bukan pertukaran peluru.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Hamdan Zoelva melalui akun Twitternya menyampaikan sudah tepat Pemerintah menetapkan OPM sebagai Organisasi Teroris.
“Hal yang seharusnya sudah lama pemerintah melakukannya, karena korban intimidasi dan pembunuhan terhadap warga sipil dan transportasi di Papua terus terjadi dan mengancam kebebasan sipil.” Kata Hamdan Zoelva.
Dia menambahkan, Dengan ditetapkan menjadi organisasi teroris, proses penegakkan hukum yang tegas terhadap anggota dan yang memberi dukungan terhadap gerakan ini dapat dilakukan melalui mekanisme hukum.
“Pada sisi lain pemerintah harus tetap melakukan pendekatan dialog dan pendekatan kesejahteraan seperti yang telah dilakukan selama ini.” Tambahnya.
Terpisah, Direktur LP3BH Manokwari, Yan Cristian Warinussy mengatakan, sebaiknya Presiden Republik Indonesia dan jajarannya lebih fokus pada periode pemerintahannya yang kedua saat ini untuk menyelesaikan berbagai kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat yang telah terjadi dari tahun 1969-2000. Melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Dari pada dipusingkan atau disibukkan dengan upaya sekelompok orang di sekitar ring 1 Istana yang ingin memberi label teroris kepada Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM), yang dewasa ini seringkali diberi nama atau sebutan berbeda antara elit di tubuh militer dan kepolisian.
“Yaitu nama Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang sering banyak digunakan elit Polri. Serta sebutan Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) atau Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) yang banyak digunakan elit militer Indonesia.” Jelas Yan Warinussy.
Dikatakan, Kasus dugaan pelanggaran HAM Berat yang terjadi diantara tahun 1969 saat berlangsungnya act of free choice (tindakan pilihan bebas red) atau oleh Pemerintah Indonesia disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tersebut meninggalkan banyak catatan telah terjadinya pelanggaran HAM secara sistematis dan struktural.
Sehingga kata Yan, menjadi ingatan penderitaan (memoria pasionis red) yang sulit dilupakan oleh rakyat Papua pada umumnya, khususnya keluarga para korban hingga saat ini.
“Ini tentu akan selalu menjadi ganjalan dalam pola hubungan rakyat Papua dan Negara Indonesia dari masa ke masa apabila tidak diselesaikan secara tuntas.” katanya kemudian menambahkan,
“Catatan kami (Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum/LP3BH Manokwari) pada tanggal 28 Juli 1969 diduga keras telah terjadi tindakan pembunuhan kilat (extra judicial killing) terhadap 53 warga asli Papua di Arfay, Manokwari. Penangkapan dan penahanan yang diduga terjadi di luar proses hukum terhadap ratusan warga asli Papua yang bekerja sebagai guru, mantri, pegawai negeri dan wiraswasta di Markas TNl Angkatan Laut Sorido, Biak.” Ungkapnya.
Bahkan kata Dia, penangkapan dan penahanan di luar proses hukum terhadap warga sipil asli Papua yang tidak pernah memperoleh putusan pengadilan yang fair dan adil di Markas Korem 172 Jalan Brawijaya, Manokwari kala itu.
“Semua ini menjadi catatan kelam yang terus menyelimuti suasana batin para korban dan terduga pelaku kejahatan negara terhadap rakyat yang menurut pandangan saya semestinya menjadi perhatian Presiden RI Joko Widodo untuk diselesaikan melalui mekanisme KKR” jelasnya.
Dikatakan bahwa, KKR telah diatur di dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Penyelesaian melalui KKR disebabkan karena Negara mengakui di dalam konsideran menimbang huruf e dari UU Otsus Papua tersebut akan adanya sejarah dari Tanah Papua dan Orang Papua yang menjadi titik soal pola hubungan Jakarta-Papua.
“Sementara mengenai keberadaan TPN OPM tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai kelompok teroris, melainkan TPN OPM juga telah memiliki sejarah panjang yang hingga kini senantiasa terus mengganggu Indonesia sebagai sebuah negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).” Tuturnya
Yaitu kata Warinussy, eksistensi TPN OPM sebagai sayap militer dari kelompok sipil Papua yang memperjuangkan pembebasan dan atau kemerdekaan dan atau kesempatan menentukan nasib sendiri Orang Asli Papua (OAP).
“Saya kira Presiden Joko Widodo dan jajarannya perlu belajar banyak dari sejarah Pertemuan Dialog Nasional Tim 100 dari Papua dengan Presiden B.J Habibie (almarhum) tanggal 26 Februari 1999 di Istana Negara, Jakarta. Itulah titik awal dimulainya meletakkan aspirasi rakyat Papua untuk disikapi secara bijak dan penuh kepentingan politik negara yang pada akhirnya dilahirkan melalui kebijakan otonomi khusus dalam UU No.21 Tahun 2001 tersebut.” Tuturnya.
Sehingga tentu sangat penting untuk disadari bahwa integritas nasional Indonesia menjadi alasan utama dari lahirnya Kebijakan Otsus Papua tersebut.
Penyelesaian soal konflik bersenjata antara TNI Polri dengan TPN OPM yang senantiasa “dinamai” KKB, KSB atau KKSB adalah melalui meja perundingan atau dialog yang setara dan inklusif.
Tidak bisa diselesaikan terus menerus melalui pendekatan keamanan dengan mengandalkan pengerahan personil militer dalam jumlah ratusan bahkan ribuan ke Tanah Papua. Eksistensi Negara RI sebagai anggota PBB akan senantiasa menjadi taruhan dan kerja setengah mati para diplomat Indonesia untuk terus meyakinkan dunia.
“Karena itu bukan label teroris yang mesti diberi kepada TPN OPM atau kelompok bersenjata di Tanah Papua, melainkan marilah dengan jujur negara Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mau memulai persiapan Berdialog dan atau berunding dengan TPN OPM yang selalu dikatakan sebagai Kelompok Separatis terseebut bersama berbagai komunitas sipilnya di Tanah Papua.” Tuturnya|Laporan: Mohamad Raharusun