Indikatorpapua.com|BINTUNI-Mbah Daiman Pria 70 tahun hidup ditemani Agus putra sebagai warga dipemukiman Transmigrasi, Ia tinggal di Kampung Argosigemerai RT 05/RW 02 Jalur 5 Melintang, merupakan warga Trans yang menetap sejak tahun 1993 asal Ponorogo Jawa Timur.
Kerap mengenakan baju bercorak Loreng, Pria paru baya itu tak pantang menyerah menjajal dagangan sayurnya, mengayun pedal sepeda ontel tua dimiliki yang diperolehnya dari hasil membeli kepada salah seorang rekannya dengan harga 500 ribu, keranjang sepeda yang terbuat dari anyaman bambu dengan harga 600 ribu guna mencari sesuap nasi dan kebutuhan keseharian dengan hasil menjual sayur mayur keliling dari tempat tinggalnya ke arah kota Bintuni dengan jarak kurang lebih 12 km yang dilakoninya setiap hari.
“Pagi buta habis subuh itu saya wes budal (berangkat) keliling jual sayur, nanti siang baru pulang ke rumah, saya bersyukur kadang dengan hasil jualan bersih 30 hingga 50 ribu” ucap pria yang sudah memiliki dua orang cucu dari putra sulung satu-satunya yang sudah berkeluarga.
Disampaikan Daiman, semenjak datang sebagai warga transmigrasi dia dan keluarga sebagai petani mengolah ladang dua hektar miliknya yang dia peroleh dari pemerintah sebagai jatah warga transmigrasi.
Hidup sendiri dibawa gubuk dengan beratapkan seng, Daiman kala membutuhkan penerangan masih menyambung seuntai kabel dari tetangga, gubuk berdindingkan papan kayu serta beralaskan semen rumah dengan ukuran 6×6 m persegi gubuk tersebut ternyata milik Sebaru yang meminta Diaman menempati. Sedangkan putra dan anak menantunya sudah hidup mandiri di Jalur 10 Kampung masih satu Kampung.
“Ini rumah yang saya tempati milik bapak Sebaru yang menyuruh ke saya untuk tinggal, anak dan menantu serta kedua cucu ada di jalur 10” ucap pria nomor kedua dari lima bersaudara itu.
Selain menjual sayur mayur keliling di Bintuni, Mbah Daiman juga menjajahi dagangan sayur mayur antar pulau dengan menyewa perahu milik nelayan guna mengantar dagangannya hingga sampai ke Kabupaten Fakfak dan sekitarnya.
“Saya sempat juga tenggelam di lautan goras sana, selama 4 hari 4 malam dari hari Jumat, Sabtu, Minggu, Senin saat hendak berjualan hasil panen jeruk, pisang, sayur dan lainnya ke Fakfak beserta 12 orang teman saya, kapal sudah hilang tenggelam karena ombak besar, hingga kami ditemukan sekitar jam 2 siang sama kapal orang Taiwan, dan semua selamat” tuturnya sambil mata berkaca-kaca.
Dia sangat bersyukur kala itu karena masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk menjalani hidup kembali dan bertemu dengan keluarganya di rumah. Diakuinya sejak pengalamannya terombang-ambing oleh ombak di laut dengan berenang dengan jerigen 20 liter, dirinya sempat mengalami trauma akan kejadian tersebut. Sehingga dia memutuskan untuk berdagang sayur mayur dengan sepeda tua yang dia miliki.
“Sejak itu saya sempat trauma selama lima bulan dan akhirnya saya putuskan untuk berdagang sayur di Bintuni saja” kata pria 70 tahun, sambil mengerutkan kerutan yang berada di wajahnya.
Lebih lanjut, alasan mengapa dirinya di era modern seperti saat ini masih berjualan sayur menggunakan sepeda ontel bututnya, sedangkan rekan-rekan seprofesi lainnya sudah menggunakan Sepeda motor bahkan mobil, Mbah Daiman bercerita bukan dirinya tidak memiliki kendaraan motor namun dia lebih rasa nyaman berjualan dengan sepeda ontel dengan alasan lebih sehat.
“Motor ada di rumahnya anak, tapi saya lebih enak pakai sepeda ontel, karena saya posisinya sudah tua nak, saya jaga kesehatan terutama dada saya kalau naik motor kan kenal angin” terang kakek yang sudah menduda sejak tahun 2002.
Selama di musim pandemi Covid-19, Mbah Daiman mengaku pernah mendapatkan bantuan berupa sembako yang dia peroleh dari Pemerintah Kampung, sedangkan untuk bantuan langsung tunai (BLT) diakuinya tidak mendapatkannya, karena kakek 70 tahun tersebut biodatanya ikut dalam Kartu keluarga (KK) milik putranya.
“Ya terus terangnya kalau BLT saya memang tidak dapat, karena saya KK nya ikut di KK anak saya” ucap kakek kelulusan SMP Bhayangkara era 70an.
Diungkapkannya sejak menjadi warga transmigrasi di Kabupaten Teluk Bintuni, perbandingannya dulu dengan saat ini Bintuni cukup berkembang, dengan usianya yang tak lama lagi masuk 18 tahun pada 9 Juni 2021 mendatang, sudah terlihat adanya pembangunan, baik fisik maupun sumber daya manusia (SDM).
“Ya jauh bedanya kalau dulu di Bintuni jalan belum aspal, saat ini sudah aspal, parit-parit sudah banyak yang dicor, apalagi lapangan SP 5 itu dulu belum seperti saat ini, sekarang sudah menjadi alun-alun, namanya transmigrasi itu memang dulu sepi, saya berharap kedepan Bintuni menjadi lebih rame dan maju lagi, lebih khusus di bidang pertanian” tutupnya.|Laporan:Wawan Gunawan