Indikatorpapua.com|MANOKWARI-Wacana pemberian Label Organisasi TERORIS kepada Kelompok Sipil Bersenjata KSB di Papua, atau sering dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka TPN-OPM oleh BNPT ditanggapi berbagai pihak, salah satunya Pembelah Hak Asasi Manusia HAM di Tanah Papua.
Sebagai Pembela HAM di Tanah Papua, menurut Yan Cristian Warinussy, sebaiknya Presiden Republik Indonesia dan jajarannya lebih fokus pada periode pemerintahannya yang kedua saat ini untuk menyelesaikan berbagai kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat yang telah terjadi dari tahun 1969-2000 melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Dari pada dipusingkan atau disibukkan dengan upaya sekelompok orang di sekitar ring 1 Istana yang ingin memberi label teroris kepada Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM), yang dewasa ini seringkali diberi nama atau sebutan berbeda antara elit di tubuh militer dan kepolisian.
Yaitu nama Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang sering banyak digunakan elit Polri. Serta sebutan Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) atau Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) yang banyak digunakan elit militer Indonesia.
Padahal kasus dugaan pelanggaran HAM Berat yang terjadi diantara tahun 1969 saat berlangsungnya act of free choice (tindakan pilihan bebas) atau oleh Pemerintah Indonesia disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tersebut meninggalkan banyak catatan telah terjadinya pelanggaran HAM secara sistematis dan struktural.
Sehingga menjadi ingatan penderitaan (memoria pasionis) yang sulit dilupakan oleh rakyat Papua pada umumnya, khususnya keluarga para korban hingga saat ini. Ini tentu akan selalu menjadi ganjalan dalam pola hubungan rakyat Papua dan Negara Indonesia dari masa ke masa apabila tidak diselesaikan secara tuntas.
Catatan kami (Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum/LP3BH Manokwari) pada tanggal 28 Juli 1969 diduga keras telah terjadi tindakan pembunuhan kilat (extra judicial killing) terhadap 53 warga asli Papua di Arfay, Manokwari.
Penangkapan dan penahanan yang diduga terjadi di luar proses hukum terhadap ratusan warga asli Papua yang bekerja sebagai guru, mantri, pegawai negeri dan wiraswasta di Markas TNl Angkatan Laut Sorido, Biak.
Bahkan penangkapan dan penahanan di luar proses hukum terhadap warga sipil asli Papua yang tidak pernah memperoleh putusan pengadilan yang fair dan adil di Markas Korem 172 Jalan Brawijaya, Manokwari kala itu.
Semua ini menjadi catatan kelam yang terus menyelimuti suasana batin para korban dan terduga pelaku kejahatan negara terhadap rakyat yang menurut pandangan saya semestinya menjadi perhatian Presiden RI Joko Widodo untuk diselesaikan melalui mekanisme KKR yang telah diatur di dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Penyelesaian melalui KKR disebabkan karena Negara mengakui di dalam konsideran menimbang huruf e dari UU Otsus Papua tersebut akan adanya sejarah dari Tanah Papua dan Orang Papua yang menjadi titik soal pola hubungan Jakarta-Papua.
Sementara mengenai keberadaan TPN OPM tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai kelompok TERORIS, melainkan TPN OPM juga telah memiliki sejarah panjang yang hingga kini senantiasa terus mengganggu Indonesia sebagai sebuah negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Yaitu eksistensi TPN OPM sebagai sayap militer dari kelompok sipil Papua yang memperjuangkan pembebasan dan atau kemerdekaan dan atau kesempatan menentukan nasib sendiri Orang Asli Papua (OAP).
“Saya kira Presiden Joko Widodo dan jajarannya perlu belajar banyak dari sejarah Pertemuan Dialog Nasional Tim 100 dari Papua dengan Presiden B.J Habibie (almarhum) tanggal 26 Februari 1999 di Istana Negara, Jakarta.” Kata Direktur LP3BH Manokwari.
Itulah titik awal dimulainya meletakkan aspirasi rakyat Papua untuk disikapi secara bijak dan penuh kepentingan politik negara yang pada akhirnya dilahirkan melalui kebijakan otonomi khusus dalam UU No.21 Tahun 2001 tersebut.
Sehingga tentu sangat penting untuk disadari bahwa integritas nasional Indonesia menjadi alasan utama dari lahirnya Kebijakan Otsus Papua tersebut. Penyelesaian soal konflik bersenjata antara TNI Polri dengan TPN OPM yang senantiasa “dinamai” KKB, KSB atau KKSB adalah melalui meja perundingan atau dialog yang setara dan inklusif.
“Tidak bisa diselesaikan terus menerus melalui pendekatan keamanan dengan mengandalkan pengerahan personil militer dalam jumlah ratusan bahkan ribuan ke Tanah Papua.” ujarnya
Dikatakan eksistensi Negara Republik Indonesia sebagai anggota PBB akan senantiasa menjadi taruhan dan kerja setengah mati para diplomat Indonesia untuk terus meyakinkan dunia.
“Karena itu bukan label TERORIS yang mesti diberi kepada TPN OPM atau kelompok bersenjata di Tanah Papua, melainkan marilah dengan jujur negara Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mau memulai persiapan berdialog dan atau berunding dengan TPN OPM yang selalu dikatakan sebagai Kelompok Separatis tersebut bersama berbagai komunitas sipilnya di Tanah Papua.”Tegasnya.|Laporan: Mohamad Raharusun