IndikatorPapua.Com|Manokwari- Tanggal 1 Desember setiap tahunnya di Tanah Papua diperingati seakan sebagai Hari Kemerdekaan West Papua. Sementara dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini oleh Pemerintah Republik Indonesia selalu menarik perhatian, bahkan oleh kalangan petinggi militer dan aparat keamanan domestik seperti polisi dilekatkan istilah Hari Ulang Tahun (HUT) Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kurang lebih ‘meniru’ istilah yang sama di Aceh dengan istilah HUT Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (Human Right Defender/HRD), Yan Cristian Warinussy mengatakan, saya justru melihat bahwa peringatan 1 Desember di Tanah Papua senantiasa “mengarah” pada upaya memperkuat eksistensi “operasi militer” dan “mengabsahkan” terjadinya pelanggaran hak asasi manusia secara masif dan sistematis terhadap rakyat Papua dan atau Orang Asli Papua (OAP).
Kenapa demikian? Karena sejatinya, catatan sejarah yang ditulis oleh Prof.Pieter J.Drooglever (seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda), dalam bukunya berjudul : Een Daad Van Vrije Keuze. De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelbrschikkingsrecht. Atau terjemahannya ialah Tindakan Pilihan Bebas ! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta tahun 2005. Pada halaman 541 hingga halaman 561 buku itu, Drooglever menjelaskan mengenai adanya suatu demokratisasi di bawah Bot dan Platteel, keduanya adalah Menteri Muda dalam pemerintah Belanda di Den Haag serta seorang Gubernur di Nieuw-Guinea (Tanah Papua) waktu itu.
“Digambarkannya bagaimana telah terjadi proses politik untuk memilih dan mengangkat anggota Dewan Papua atau yang dikenal dengan nama : Nieuw-Guinea raad kala itu.” Tutur Yan Warinussy
Adapun kata Dia, orang-orang Papua yang terpilih yaitu Nicolaas Jouwe (Hollandia), M.Suway (Nimboran), Markus Kaisiepo dan Baldus Mofu (Kepulauan Schouten/sekarang Biak Numfor), M.H.Ramandey dan Eliezer Jan Bonay (Japen-Waropen), Penjas Torey (Ransiki), Abdullah Arfan (Radja Ampat), Alex E.Onim (Teminabuan), D.Deda (Ajamaroe), Nikolas Tanggahma (Fakfak), A.K.Gebze (Merauke), dan M.Achmad (Kaimana).
“Perlu diketahui bahwa terdapat 12 orang amtenar dan 2 (dua) orang guru yang terpilih saat itu. Sedangkan wakil dari Radja Ampat, Abdullah Arfan adalah anggota keluarga raja yang terkemuka.” Jelasnya
Diakatan bahwa Kemudian terdapat 12 orang yang diangkat, dimana 7 (tujuh) orang diantaranya adalah memiliki latar belakang guru dan terdapat seorang perempuan asli Papua yaitu Dorkas Tokoro-Hanasbey. Ada juga amtenaar pemerintah bernama V.P.C.Maturbongs dan pengusaha Herman Womsiwor.
“Lalu Karel Gobay mewakili danau-danau Wissel. Ada juga 2 (dua) rohaniawan pendeta, DR.F.C.Kamma dan Pater van den Berg. Van den Berg mewakili dan Kamma mewakili penduduk pedalaman yang hampir-hampir belum ada di bawah pemerintahan.” Jelasnya
Kemudian amntenaar bernama F.Sollewijn Gelpke ditunjuk oleh pemerintah Belanda sebagai Ketua. Dewan Papua atau Nieyw-Guinea raad dilantik pada tanggal 5 April 1961, dan dalam pidato politiknya waktu itu, Menteri Muda Bot menyampaikan permohonan kepada Dewan ini, untuk dalam jangka waktu 1 (satu) tahun “memberikan nasihat mengenai cara bagaimana hak menentukan nasib sendiri penduduk Papua Belanda dapat dilaksanakan”.
“Inilah letak soal yang menjadi tugas penting Nieuw Guinea Raad (NGR) sejak 5 April 1961 tersebut. Sehingga kemudian pada tanggal 18 November, sebagai dicatat Drooglever, NGR dalam rapat luar biasanya, menyusun peraturan-peraturan mengenai bendera dan lagu kebangsaan sesuai nasihat NGR tersebut”
Kemudian ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi oleh Gubernur Platteel dan dilanjutkan dengan pengibaran bendera berlangsung pada tanggal 1 Desember 1961 di kota Hollandia (Jayapura sekarang) dan di semua ibukota onderafdeling.
Dilukiskan oleh Drooglever bahwa dimana-mana hal itu terjadi dalam suasa khidmat dan tenang, dan dihadiri oleh penguasa-penguasa setempat.
“Siapa penguasa setempat yang dimaksud Drooglever, menurut pengertian politik dan hukum saya adalah Pejabat-pejabat pemerintah Netherland Nieuw Guinea (pemerintah Kerajaan Belanda) yang berkuasa saat itu di Tanah Papua.” Jelasnya
Dia mengatakan bahwa, sama sekali tidak terdapat informasi maupun data yang menunjuk dan tidak juga dalam buku ini bahwa saat itu (1 Desember 1961) telah terjadi “peralihan kekuasaan” atau pembacaan teks proklamasi oleh pimpinan Dewan Papua atau Nieuw Guinea raad (NGR) tersebut.
Karena sesungguhnya secara hukum, NGR adalah salah satu organisasi resmi yang berada dan diakui dalam sistem pemerintahan Belanda saat itu untuk membantu orang Papua dan Pemerintah Belanda sendiri sesuai tugasnya diatas.
Bahkan dikatakan juga bahwa Gubernur Platteel justru sangat puas dengan keadaan pasca 1 Desember 1961 bahkan dia berusaha agar bendera Bintang Kejora sudah cepat dikibarkan tiap hari dan mereservasi bendera Belanda untuk kesempatan-kesempatan khusus. Namun Platteel justru ditegur oleh Menteri Muda Bot, sebab akan ada kesan bahwa Belanda sudah menyerahkan wilayah (Nieuw Guinea/Tanah Papua) itu.
“Menurut Bot, bendera-bendera itu harus selalu dipajang satu disamping yang lain, dimana akan dapat dibedakan antara bendera Kerajaan Belanda dengan bendera masing-masing negeri.” Tuturnya
Dikatakan bahwa dalam pemikiran Bot bahwa menerima bendera negeri (Bintang Kejora) bukan berarti pengakuan kedaulatan. Hal ini (kedaulatan) masih tetap ada pada Belanda, yang harus juga diungkapkan di dalam pemberian tempat penampilan.
Sehingga dengan demikian pada menjelang peringatan 1 Desember tahun ini, saya ingin menempatkan pemahaman kita secara arif dan bijaksana bahwa sesungguhnya proses politik itu belum selesai.
“Tidak benar ada proklamasi tanggal 1 Desember 1961 yang hingga kini mesti ditakutkan oleh siapapun, termasuk pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Ungkap Warinussy
Rakyat Papua masih memiliki tugas berat untuk mempercakapkan proses menggapai kesempatan meraih Hak Menentukan Nasib Sendiri (the right to self determination) secara politik dan demokratis sebagai bagian dari tugas Nieuw Guinea Raad (NGR) yang belum usai sejak 5 April 1961.
“Ini disebabkan pula karena Tindakan Pilihan Bebas (act of free choice) 14 Juli hingga 2 Agustus 1969,menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-XVII/2019, tanggal 6 Januari 2020 adalah sebuah peristiwa hukum internasional.” (IP.02)